Artikel


CHATTING JADUL
Apa fungsi handphone bagi anda dan seberapa pentingnya dalam kehidupan anda? Pasti jawaban yang diperoleh akan beragam. Saya masih ingat di era 80-an betapa tahannya kakak saya berjam-jam menelpon dengan duduk manis dan memegang gagang telepon rumah.


Break.....break..... 
Break... break...
Rojeeerrrr....
Kontek dong…

Itulah yang kalimat baku yang jadi isyarat ketok pintu yang harus diucapin oleh breaker yang baru mau ikutan gabung di ajang ngobrol lewat radio amatir, alias radio CB (citizen band) di jaman 80-90an.
Di jaman 80-an lah yang namanya 'ngebrik' sempet booming merajalela jadi tren anak muda. Pokoknya yang mau ngaku anak gaul mesti ngebrik.
Di jaman itu kegiatan yang satu ini termasuk mainan anak-anak muda kelas menengah ke atas. Emang mainan kok, soalnya kebanyakan cuma buat seneng-seneng cari ketawa atau cari kecengan. Ada sih yang serius, yang sampe bela-belain ikut ujian biar bisa dapat call sign resmi, tapi ya mereka itu orang-orang yang memang serius, bukan golongan anak muda yang suka maen-maen doang.

Perlu Modal Kalo Mau Ikutan Ngebrik
Mainan kelas menengah ke atas? Yup, karena untuk jadi breaker harus punya cukup modal. Harus ada doku dua ratus ribu perak kalo mau dapet HT merek Icom IC-2N. Handy Talkie, relatif kecil pada jamannya. Batu bata, gitu deh julukannya sekarang. Bisa buat nyambit maling.
Saya ikut ngebrik awalnya karena sering meminjam dari pacar kakak saya pada jaman itu.Yaa itu, minjam HT IC-2N. Sebagai ongkos jatah "pengawasan", lumayan dapat pinjaman beberapa hari.
Perangkat pertama yang dimiliki sendiri adalah Transceiver merek Kenwood Model TM-211A, saya masih ingat waktu itu berharga Rp. 300.000,- Power supply merek VDO, kabel merek Belden RG-8 A/U dan antenna tuner Daiwa CNW-917. Jadilah untuk sebuah stasiun yang agak lumayan, abis tuh duit gopek lebih dikit. Jumlah yang cukup lumayan buat jaman itu. Kira-kira separoh harga Yamaha RX Special ! Bayangkan aja capeknya merengek minta dibeliin waktu itu, untung akhirnya dikabulkan juga. Hahahahahahaaaaaaaaa… geli mengingat jaman dulu.
Enak juga bo pacaran lewat frekwensi. Asal rela didengar banyak orang yang monitor. Tentunya tidak bagi yang lebih suka dan rela pacaran di telepon selama berjam-jam.
Di era 90-an, kita semua belum akrab dengan yang namanya handphone. Alat komunikasi utama jika berada di luar rumah adalah telepon umum koin. Harus selalu membawa uang recehan di saku, siapa tahu tiba-tiba harus menghubungi seseorang. Tentu akan merepotkan jika harus tukar uang dulu untuk menelepon. Handphone? Saat itu baru beberapa gelintir orang Indonesia yang memilikinya, yah... semacam artis dan pengusaha. Bentuknya pun masih belum compact seperti sekarang. Besar dan berat. Belum lagi harga handset dan kartu perdana yang masih selangit.
Pokoknya telepon umum dan wartel masih menjadi pilihan favorit, selain telepon rumah. Yang bisa disebut perkembangan saat itu adalah munculnya telepon umum kartu. Ini semacam kartu prabayar tetapi digunakan untuk mengakses telepon umum.
Nyaris bersamaan dengan itu, penggunaan pager alias penyeranta mulai populer. Sayang fungsinya hanya 1 arah yaitu untuk menerima pesan, sehingga jika ingin mengirim pesan atau menjawab pesan, tetap harus menggunakan telepon. Hal lain yang agak ribet adalah kita harus membayar biaya langganan bulanan yang besarnya -kalau tidak salah- sekitar Rp. 30 ribu. Cukup mahal untuk ukuran saat itu.

 Ajang Chatting 80-an
QSO? Apaan tuh?... Arti gampangnya QSO adalah ngobrol di udara. Kode di kalangan radio amatir diawali oleh huruf Q, yang dikenal sebagai Q-codes. Selain Q-codes masih daftar Kode Sepuluh atau 10-codes. Hobi radio amatir emang seru sih. Mungkin selevel ama asiknya chatting saat ini. Bisa bikin kecanduan! Saya tetap betah berjam-jam monitor dan ber-QSO.
Aktivitas setelah ber-QSO sejak dari jaman dulu, biasanya langsung bertemu alias kopi darat alias KOPDAR. Hahahahahahahaaaa ...geli, banyak yang sebelumnya bisa ngobrol alias QSO ber-jam lamanya, setelah kopdar…blass, ….siapa loe?!! Suaranya bagus, tapi….iiiih… .
Buat yang serius tentunya punya call sign, biasanya kode call-sign adalah kebanggaan tersendiri buat dia. Call sign dengan awalan YD, YC, YB buat anggota Orari diperoleh melalui ujian teknis radio dan seleksi yang cukup ketat. Pantaslah jika mereka begitu bangganya sampe call sign itu dipajang dimana-mana, di pintu rumah, di kaca mobil, kartu nama... pokoknya biar orang sedunia tahu deh!
Bagi yang tidak mau dijejali ujian teknis, biasanya menjadi anggota RAPI yang merupakan singkatan dari Radio Antar Penduduk Indonesia. Namun kedua wadah ini terpisah alias berbeda dalam alokasi penggunaan frekwensinya.
Tapi buat para breaker dengan stasiun gelap tanpa call sign, cukuplah sebuah nama samaran atau lebih kerennya 'nama di udara' sebagai identitas selama berkelana di dunia maya ala radio amatir. Bisa gonta-ganti semaunya tentu saja, tapi kalau mau diingat lebih lama oleh teman ngebrik perlu ada identitas tetap.
Masuk ke sebuah frekwensi yang digunakan bersama, semacam chat room - sambil mengintip kalau-kalau ada "Way El" (YL alias Young Lady) atau cewe yang masuk agar bisa diajak ngobrol. Dengan modal suara yang dikece-kecein ala penyiar radio ditambah gombal-gombal dan ngebohong dikit atau banyak, dipikatlah sang korban masuk jebakan. Kalo berhasil terpikat, lalu diajak pindah ke frekuensi yang lebih sepi biar bisa ngobrol lebih panjang berdua doang. Kalo cocok bisalah berlanjut ke hubungan yang lebih serius sebagai pacar di udara. Hati-hati saja, karena ada juga YL yang spesialis tukang porot.
Takkala orang-orang sudah kurang berminat dengan berkomunikasi dengan menggunakan perangkat radio amatir, saya masih tetap melanjutkan hobby saya yang satu itu. Jadilah kegemaran chatting jadul ini masih berlanjut...